Dampak Perubahan Iklim Dalam Perspektif Kesehatan Lingkungan


Umar Fahmi Ahmadi

Iklim berperan dalam setiap kejadian penyakit dan kematian, oleh karena penyakit bounded terhadap ekosistim. Dan manusia bagian dari sebuah ekosistim. Sementara itu kejadian penyakit merupakan inti permasalahan kesehatan. Sementara kesehatan merupakan salah satu kontributor utama penyebab kemiskinan. Telaah juga mengindikasikan, ada tiga variabel utama yang harus dilakukan secara simultan yakni pendidikan, kesehatan dan pengendalian kemiskinan (perbaikan ekonomi).
-----

Berbagai kepustakaan menyebutkan bahwa iklim bermakna kehidupan. Perubahan iklim akan diikuti perubahan ekosistim. Atau tata kehidupan yang pada akhirnya merubah pola hubungan interaksi antara lingkungan dan manusia yang berdampak terhadap derajat kesehatan masyarakat.

Beberapa variabel yang merupakan komponen iklim seperti suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, kelembaban ruang, kemarau panjang dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran berbagai spesies mikroba dan parasit serta berbagai variabel kependudukan. Iklim juga berperan terhadap budaya dan behavioral aspect manusia. Hubungan antara lingkungan, kependudukan dan determinan iklim serta dampaknya terhadap kesehatan dapat digambarkan kedalam Teori Simpul atau Paradigma Kesehatan Lingkungan.

Paradigma Kesehatan Lingkungan pada hakekatnya juga merupakan model patogenesis kejadian penyakit. Tidak semua variabel dipengaruhi oleh perubahan iklim. Namun perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap model hubungan berbagai variabel kependudukan dan lingkungan tersebut.

Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap patogenesis berbagai penyakit yang berbeda dan dengan cara berbeda satu sama lain pula. Salah satu pengaruh perubahan iklim adalah terhadap potensi peningkatan kejadian timbulnya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk seperti Malaria, Radang Otak akibat West Nile Virus, Filariasis, Japanese Encephalitis, dan Demam Berdarah.

Malaria menyerang hampir 100 negara, dan 41% penduduk dunia berada dalam kelompok at risk. Penduduk miskin memiliki risiko tinggi terhadap penyakit malaria. Sebaliknya Malaria merupakan salah satu penyebab kemiskinan sebuah wilayah. Dengan kata lain memberantas kemiskinan merupakan investasi pengendalian malaria dan sebaliknya mengendalikan malaria merupakan investasi pengentasan kemiskinan.

Perubahan iklim akan mempengaruhi pola penularan malaria. Peningkatan suhu akan mempengaruhi perubahan bionomik atau perilaku menggigit dari populasi nyamuk, angka gigitan rata-rata yang meningkat (biting rate), kegiatan reproduksi nyamuk berubah ditandai dengan perkembangbiakan nyamuk yang semakin cepat, masa kematangan parasit dalam nyamuk akan semakin pendek.

Untuk mengendalikan malaria, harus belajar dari Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah dan Kota Ternate di Maluku Utara. Kedua wilayah ini berhasil menekan kejadian malaria. Kuncinya ada pada komitmen Bupati atau Walikota terhadap Gerakan Roll Back Malaria (RBM). Mereka mengangkat Juru Malaria Desa yang bertugas mencari dan mengobati kasus sebagai sumber penularan secara pro aktif. Serta menggerakkan seluruh komponen masyarakat dan kelembagaan baik pemerintah maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk mengendalikan faktor risiko penyakit malaria. Dengan gerakan semacam itu Banjarnegara dan Ternate yang semula endemik malaria kini terbebas dari malaria.

Penyakit lain yang berkaitan erat dengan nyamuk adalah Demam Berdarah. Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan insiden DBD di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070. Tanpa pengendalian yang efektif Demam Berdarah akan mengganggu perekonomian negara dan bangsa. Kunci pengendalian demam berdarah, sama seperti pengendalian malaria berbasis wilayah, yakni pengendalian kasus dan berbagai faktor risiko secara simultan.

Perubahan iklim juga mempengaruhi timbulnya berbagai penyakit infeksi baru, seperti SARS, Avian Influenza, Ebola, West Nile Virus, Hantaan virus, Japanese Encephalitis serta banyak penyakit infeksi baru yang baru muncul maupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali.

Penyakit-penyakit ini selain berkaitan dengan perubahan iklim, juga berkaitan dengan perubahan perilaku dan mobilitas penduduk bumi. Tingginya radiasi ultraviolet juga diperkirakan menurunkan daya tahan tubuh terhadap mikroba patogen, yang pada akhirnya menjadikan mudah terkena penyakit infeksi. Kepadatan, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya juga mempengaruhi timbulnya penyakit infeksi baru.

Kelompok at risk berbagai penyakit infeksi baru tersebut juga kelompok penduduk miskin. Kejadian (insidensi) penyakit-penyakit baru ini seringkali terjadi secara mendadak, menimbulkan kepanikan, mempengaruhi berbagai kegiatan sektor perekonomian seperti pariwisata, kegiatan perdagangan dan industri, peternakan, serta biaya-biaya lain yang sangat memberatkan anggaran negara maupun masyarakat. Pencegahan penyakit infeksi baru pada intinya harus memahami patogenesis penyakit, serta menerapkan manajemen kasus dan pengendalian faktor risiko (lingkungan dan kependudukan).

Perubahan iklim juga mempengaruhi pola curah hujan dan menimbulkan kejadian bencana khususnya banjir. Banjir merupakan penyebab tersebarnya agen penyakit dan wabah penyakit menular, seperti leptospirosis, diare dan kholera.

Perubahan iklim juga berperan terhadap bencana kekeringan. Bencana kekeringan pada dasarnya juga merupakan perubahan ekosistim yang akhirnya berdampak pada kesehatan. Dampak tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan maupun persebaran penyakit, baik langsung maupun tidak langsung. Salah satu dampak secara langsung adalah terhadap ketersediaan pangan terutama penduduk miskin. Dalam perspektif kesehatan lingkungan, pangan tidak saja jumlah dan kelengkapan harus mencukupi namun secara kualitas harus memenuhi syarat. Kemarau panjang mempengaruhi ketersediaan pangan baik jumlah maupun kualitasnya. Kejadian keracunan pangan sering terjadi dimusim kekeringan yang berkepanjangan.

Penyakit yang kurang memiliki keterkaitan erat dengan perubahan iklim secara langsung adalah penyakit menular HIV AIDS. Penyakit infeksi HIV AIDS ditularkan melalui hubungan seksual (antara 5 - 20%), melalui penggunaan jarum suntik secara bersama (50 hingga 70 %) serta proses penularan ibu penderita ke anak yang dikandungnya sekitar 0.5%. Penderita HIV akan mengalami penurunan kekebalan, sehingga mudah terinfeksi oleh penyakit infeksi oportunistik, terutama seringkali muncul bersamaan dengan penyakit tbc.

Ini merupakan analisa perubahan iklim terhadap kesehatan penduduk berkaitan dengan pencapaian MDG menggunakan pisau analisis kesehatan lingkungan.

Sebagai informasi, Indonesia telah sepakat untuk mencapai target tujuan pembangunan universal dan pengurangan kemiskinan pada tahun 2015 yang dikenal sebagai Milenium Development Goals atau MDG. Paket MDG bertujuan seperti, menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, memenuhi pendidikan dasar, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian bayi, menurunkan angka kematian ibu melahirkan, memerangi HIV AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, menjamin kelestarian lingkungan hidup, serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. **

Umar Fahmi Ahmadi, adalah Professor (Guru Besar) Universitas Indonesia sejak th. 1991, Visiting/Adjunct Professor Griffith University Queensland Australia sejak th. 2000. Dokter, MPH., Ph.D., staf pengajar pada Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Departemen Kesehatan Lingkungan, serta pengajar tamu di sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia.

Makalah ini dipresentasikan penulis pada acara KIPNAS IX, 22 November 2007

0 komentar: